Sabtu, 20 Februari 2010

Tentang Musikalisasi Puisi di Denpasar Junction

hwaaa , kita baru aja selesai ngikutin lomba musikalisasi puisi yg diselenggarakan oleh temen2 dari ISI , hmm proses yg udah kita jalanin cukup panjang dan menyenangkan loh ..
wlopun mungkin ada juga kejadian2 yg kurang kita inginkan untuk terjadi , hee
slama pembuatan aransemen lagu , kita jugak di bantu sama kakak2 alumni , sekarang kita tinggal nunggu pengumuman pemenang aja , kalopun kita menang, anggep aja itu hanyalah sebuah bonus, tapi yang seharusnya kita hargai dan rasakan adalah bagaimana proses kita membuat suatu pementasan yg terbaik :)
2 hari yang lalu , dan kemarin , kita dari Teater Tiga , sudah menampilkan yang terbaik . Kita cuma pengen yang terbaik aja, mungkin kalau terjadi kemungkinan yang terburuk , berarti kita mesti lebih belajar lebih banyak lagi . SEMANGAT TIGA :)

Minggu, 05 Juli 2009

REUNI TEATER TIGA TRISMA

Reuni dihadiri oleh seluruh alumnus (bagi yang berkesempatan), pengurus & anggota Teater Tiga Trisma pada :

Hari/Tanggal : Rabu, 8 Juli 2009
Jam : 10.00 WITA - selesai
Lokasi : Workshop SMAN 3 Denpasar

Sekian & terima kasih atas perhatianya . . .

Rabu, 17 Juni 2009

Pidato - Putu Fajar Arcana

PIDATO
Naskah Monolog Putu Fajar Arcana

(SEORANG lelaki setengah baya tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia mengusap muka, mengucek, dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu menoleh sekeliling dengan pandangan heran. Sesekali memperbaiki sisiran rambutnya. Matanya lucu ketika menyadari begitu banyak orang di sekelilingnya. Ketika terdengar teriakan-teriakan yang memintanya segera bicara, perlahan ia berdiri. Tubuhnya terhuyung beberapa kali, tapi kemudian ia mulai bisa menguasai diri).
***
SAUDARA-saudara, saya diundang kemari untuk berpidato. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan selama hidup saya. Sebab pidato bagi saya lebih merupakan sebuah kesaksian, ketimbang melontar-lontarkan pepesan kosong. Apalagi sekarang saya harus berpidato di hadapan Saudara-Saudara, orang-orang berpengetahuan luas, kaum intelektual yang sering nonggol dalam talk show di televisi. Saya hanya orang kecil, orang desa yang sama sekali tidak memiliki referensi tentang politik. Politik? Ssttt…(menutup bibir dengan telunjuk, lalu berbisik) jangan keras-keras…dan tolong jangan dikabarkan kepada yang tidak hadir di sini, saya tak suka politikus. Mereka ini kaum mencla-mencle, tak ada logika yang lurus. Seperti besi ditempa, semakin dibakar semakin mudah dipeot-peotkan. Tak ada istilah sahabat atau seteru, semuanya adalah alat untuk mencapai kuasa.
Terkadang saya pikir mereka (celingukan menoleh ke sekeliling) serombongan tikus yang hidup dalam got di sepanjang jalan-jalan kota. Di musim kemarau mereka bisa berkeliaran semaunya, untuk mencuri roti mereka bisa menggerogoti pintu-pintu rumah Saudara, tetapi di musim hujan bisa menebar leptospirosis. Makanya banyak orang kota yang berpikiran tidak waras, karena kencing tikus. Tentu tidak termasuk Saudara, bukan? Karena saya tahu Saudara-Saudara adalah orang-orang yang berpengetahuan luas dan tidak suka mencla-mencle.
Apakah Saudara-Saudara bersedia dipimpin oleh serombongan tikus? Saya kira pasti tidak, karena kalau bersedia Saudara-Saudara saya cap sama dengan para politikus itu, yaitu anggota dari gerombolan tikus…
(Seperti mendengar celetukan orang) Apa? He-he-heh, sssttt…ingat jangan sampai terdengar yang lain. Saya bisa diciduk. Nah ini, soal ciduk-menciduk, mungkin Saudara-Saudara masih ingat sewaktu saya diculik dari rumah saya. Itu sudah terjadi pada bulan Desember tahun 1965. Kira-kira usia saya waktu itu 20 tahun. Mestinya saya sudah tamat SMA, tetapi karena kami termasuk keluarga miskin yang hanya hidup dari hasil sawah, saya terpaksa putus sekolah. Kemudian saya memang diajak untuk rapat-rapat, bagaimana mendapatkan tanah-tanah sawah kami kembali. Selama ini orang tua saya hanya menjadi petani penggarap di bekas sawahnya sendiri. Sudah lama sawah kami diambil oleh para tuan tanah. Mereka menjerat kami dengan utang lalu mencuri periuk nasi kami.
Malam itu, Saudara, hujan gerimis dan lolong anjing begini….Aaauuu….Auuumm (melolong seperti anjing). Saya baru saja menyulut rokok jagung, ketika tiba-tiba serombongan orang berseragam hitam dengan selempang pedang, ah bukan, mungkin kelewang di punggungnya membekuk saya.
“Saudara ikut kami…!” kata salah seorang yang bertubuh paling besar. Ia mencengkeram lengan kanan saya. Lolong anjing terdengar lagi, aaauuu, auumm…Saya bergidik. Ketika ia kemudian menambahkan berkata,”Saudara antek-antek PKI…!” saya baru sadar bahwa nyawa saya di ujung tanduk. Waktu itu, Saudara tahu, tuduhan seperti ini bagai vonis mati. Nyali saya tiba-tiba ciut. Darah di kepala saya seperti disedot vacuum cleaner, muka saya jadi pucat pasi. Saya seperti mayat yang begitu saja dilemparkan ke liang kubur.
Ketika rombongan yang kukira para jagal itu menyeret saya, meski dengan memelas saya memberanikan diri berkata,”Bapak-Bapak, pasti salah tangkap…”
“Sebaiknya pergunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal-hal penting, seperti pesan kepada keluarga,” kata yang berkepala plontos.
“Bapak-Bapak pasti salah tangkap. Pasti bukan saya yang dimaksud,” kata saya lagi. Saudara-Saudara dalam situasi seperti ini saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan tindakan saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI itu. Sebab, terus terang, saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-Saudara, saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga Saudara tahu, saya tak mau terlibat politik. Urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan masing-masing.
Jelas nama saya sudah dikorupsi. Saat-saat kampanye mereka dengan mudah akan memanipulasi begini: Saudara-Saudara partai ini partai milik wong cilik, partai yang berjuang untuk orang-orang kecil dan pinggiran seperti Saudara-Saudara. Saudara-Saudara tahu kami tidak akan membiarkan nasib Saudara-Saudara tergantung di ketiak para tuan tanah, di mana Saudara-Saudara menjadi buruh di tanah milik Saudara sendiri. Kami datang membawa harapan, kami adalah matahari yang tiba-tiba terbit dari balik bukit. Dan memberi sinar kepada kesuraman hidup Saudara-Saudara. Cuma, kalau Saudara-Saudara tidak berada satu barisan dengan kami, bagaimana kami bisa memperjuangkan nasib Saudara-Saudara. Apa Saudara-Saudara mau bergabung bersama kami?
Kalau Saudara-Saudara menolak berarti Saudara-Saudara juga menolak memperbaiki nasib bangsa. Dan itu pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan, tidak bisa dimaafkan, karena Saudara-Saudara berarti juga berlindung di balik punggung para tuan tanah, yang selama ini menghisap darah di kepala Saudara-Saudara…
Nah, Saudara-Saudara sudah dengar tadi kan? Saya jijik, saya muak dengan ajakan-ajakan begini. Kenapa semua orang yang datang kepada kami selalu membawa janji-janji. Mereka tidak pernah datang sebagai sahabat yang tulus, yang begitu sungguh-sungguh ingin mengangkat hidup kami yang melarat ini…Eh sudah begitu pakai mengancam lagi.
Huk-huk….izinkan saya menangis Saudara. Sudah lama kita lupa bagaimana caranya menangis yang baik. Tangis-tangisan yang setiap hari saya saksikan di televisi, telah menjadi semacam sandiwara, yang berusaha membuat kita terharu. Padahal semuanya adalah semu, kita bagai hidup di tengah bayang-bayang. Tak ada lagi ketulusan di negeri ini. Bahkan untuk sekadar menangis, kita pun tega bersandiwara…huk-huk…
***
“NAMA Saudara ada dalam daftar….!” kata lelaki yang bertubuh besar dan kekar. “Makanya jangan rewel…”
“Bapak-Bapak salah tangkap…” Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu mengatakan hal lain. Karena saya pikir hanya kata-kata ini yang bisa menyelamatkan nyawa saya sekarang.
“Saudara benar bernama Tell, Tell…” Saya menunggu untuk menguji apakah para penjagal ini benar-benar mengetahui nama saya. Karena saya yakin pastilah ia salah tangkap. Saya tidak pernah merasa menjadi aktivis partai untuk memperjuangkan hak-hak petani. Saya cuma tahu bahwa kami tidak lagi bisa seenaknya mengolah tanah. Ayah saya hanya buruh yang diupah untuk bekerja di atas tanah miliknya. Semua hasil panen tidak pernah lagi mengisi lumbung-lumbung rumah kami. Setiap panen, kami hanya bisa melelehkan air mata menyaksikan padi-padi itu, ah padi-padi itu, oh tebu-tebu itu, diangkut entah ke mana. Dan kami dibiarkan seperti tikus yang mengais-ngais sisa. Apalah daya seekor tikus di bawah batang padi yang telah dipanen. Hanya rumput yang tersisa. Dan kami, para pemakan rumput yang tumbuh di bawah kaki-kaki para tuan tanah. Oh hidup ini sungguh kejam, para pemilik pun tak berdaya berhadapan dengan penguasa, karena pemilik belum tentu berkuasa. Oh, huk-huk…(Menangis…) Ah, saya menangis lagi, mohon maaf kalau saya tiba-tiba jadi cengeng, Saudara-Saudara.
“Saudara Teller, ini bukan saatnya menangis. Kalau Saudara masih percaya Tuhan ini saatnya untuk berdoa. Kami mentolerir soal-soal itu,” kata yang berkepala plontos kemudian. Sudah saya duga, mereka pasti salah tangkap.
“Nama saya Meller, Pak…” Saya sebut nama saya yang sebenarnya. Tentulah dengan maksud agar para penjagal ini segera sadar bahwa saya bukan orang yang dimaksud. Dan kemudian dengan memohon maaf, saya akan dilepaskan.
“Mau Teller kek, Meller kek, Saudara sudah terlanjur kami tangkap, pantang untuk mengembalikan barang yang telah kami ambil…” kata yang bertubuh besar.
Barang? Coba, coba, apakah cerita saya ini tidak menyentuh hati Saudara-Saudara. Seharusnya Saudara-Saudara bersimpati kepada saya dan kalau mungkin membantu saya agar terbebaskan dari orang-orang yang menyeramkan itu. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang dilindungi oleh aturan seperti HAM, disamakan seperti barang. Apakah dunia ini sudah begitu bengisnya. Manusia-manusia yang hidup di dalamnya sudah tidak sanggup lagi membedakan mana barang dan manusia. Sesosok tubuh yang tidak bernyawa sekali pun, nilainya tidak bisa disamakan dengan barang. Apalagi saya, seseorang yang masih memiliki hak atas nyawanya sendiri.
Tetapi begitulah di zaman itu Saudara, penangkapan seorang anak manusia disamakan dengan memungut kerikil dari tepi jalan. Kapan pun dikehendaki kerikil itu akan dilemparkan ke dasar jurang. Dan Saudara tidak bisa protes, kalau sewaktu-waktu nyawa Saudara disamakan nilainya dengan sebuah kerikil. Artinya Saudara mesti siap mental kapan pun akan disembelih, seperti saya…
***
(TERDENGAR suara guruh disertai kilat menyambar, langit gelap. Gerimis turun…Suasana ini sangat mencekam).
Saudara, di malam yang gelap saya digiring ke sebuah tempat. Kepala saya ditutup dengan baju kaos yang saya kenakan ketika duduk di beranda tadi sore. Mereka menaikkan kami ke sebuah truk yang kemudian membawa kami kemari, sebuah gudang tua yang saya kira letaknya di pinggiran kota. Sewaktu dijerumuskan seperti membuang bangkai anjing ke kali, saya masih bisa merasakan panas cuaca perkotaan. Asap dari cerobong pabrik gula masih tercium hidung saya. Tapi di daerah ini memang bertebaran pabrik gula, tentu saja saya tidak bisa membedakan aroma masing-masing pabrik itu. Apa Saudara sanggup membedakan pabrik gula ini aromanya begini, pabrik itu aromanya begitu…Saya yang hidup di sekitar perkebunan tebu saja belum memiliki penciuman setajam anjing, apalagi Saudara yang hidup di perkotaan dan bahkan tidak mengenal pohon tebu…
Di dalam gudang yang pengap, saya lihat puluhan orang duduk di lantai dengan tangan terikat. Sekilas beberapa di antaranya saya kenal. Mereka sebagian besar para petani yang hidupnya serba kekurangan seperti saya. Bagaimana mungkin para petani miskin, tak melek huruf, apalagi politik, menjadi lokomotif penumbangan sebuah rezim. Ah, Saudara banyak yang tidak bisa dimengerti di sini.
Ketika saya ditendang agar bergabung dengan orang-orang ini, saya baru sadar kalau lantai yang saya pijak penuh genangan darah. Samar-samar genangan itu hampir-hampir mencapai mata kaki saya. Ketika saya mencoba jongkok untuk memastikan bau amis, di atas… saya kira di sebuah balkon, terdengar derap sepatu tentara. Dalam beberapa saat para tentara telah berbaris mengambil posisi di sepanjang balkon.
Oh, Tuhan, di sinilah masa muda saya akan berakhir. Saudara, hanya malaikat yang bisa menolong saya. Sebentar lagi kalau bedil sudah dikokang, hingga terdengar suara, krakk…krakk…krakk…dan kemudian bergema letusan berkali-kali, timah-timah panas akan bersarang dalam tubuh saya. Dan saya, kami semua akan roboh, setelah itu, setelah itu, darah kami akan membanjiri lantai ini. Mungkin tingginya akan mencapai lutut Saudara-Saudara.
Diam-diam saya berdoa. Saya mengucapkan rasa syukur diberi pilihan mati di ujung moncong senapan. Paman saya, Juwena, sebagaimana cerita yang kemudian saya dengar harus mati dengan kepala terpisah dari badannya. Setelah diculik seperti saya, ia digiring ke sebuah tepi jurang di pinggir pantai. Di situlah para algojo memenggal lehernya. Kepalanya berguling dan tubuhnya jatuh ke pantai. Bersamanya juga dibantai begitu banyak manusia yang belum tentu mengerti riwayat kesalahannya.
Ketika air surut mayat-mayat itu seperti ikan lemuru yang terdampar dan busuk. Baunya menyusup di antara pohon-pohon kelapa sepanjang pantai. Lalu menabrak pintu-pintu rumah warga. Tetapi tak ada yang berpikir itu bau mayat, apalagi perduli. Sebab keperdulian saja sudah cukup mengantarkan Saudara-Saudara ke tempat-tempat penjagalan. Sementara, Saudara ooohh… kepala mereka dipamerkan di pos-pos jaga. Konon itu menjadi contoh buat orang-orang yang terlibat. Apakah Saudara-Saudara tidak berpikir, sebagaimana yang saya pertanyakan sekarang ini, mengapa bangsa yang konon ramah-tamah dan mengerti sopan-santun ini, bisa begitu liar dan bengis.
Saya bergidik. Di sinilah di negeri yang konon dilahirkan ketika para bidadari bertemu dengan dewa-dewa, ketika bulan bersatu dengan matahari, tangis sudah kehilangan maknanya. Tak ada gunanya lagi menangis. Air mata ini tiba-tiba kering, ketika terdengar ratusan ribu orang dibantai sebagai sekawanan anjing yang dituduh menyebar rabies. Mereka ketakutan ketularan gila, mereka ketakutan dari mayat-mayat itu akan muncul belatung. Kalaupun mayat-mayat itu kemudian dikuburkan, bukan karena mereka tahu bagaimana selayaknya memperlakukan jenazah, tetapi karena mereka takut dari jasad-jasad itu akan menyembur penyakit. Dan pada suatu hari seluruh penghuni kota akan tertular. Artinya Saudara-Saudara, mereka juga memiliki ketakutan yang sama sebagaimana ketakutan saya sekarang ini.
Karena tempias cahaya lampu saya melihat genangan darah di lantai berkilau. Sebentar lagi ketika seruan,”tembaaaakk…!” menggelegar menembus gelap, darah saya, darah kami malam ini akan menjadi bagian dari genangan itu. Apakah bau amis darah kami tidak cukup menjadi pemuas naluri setan yang bersarang di hati para penjagal ini. Apakah harus jatuh ratusan ribu korban lagi dengan dalih menebus kesalahan yang diperbuat oleh segelintir elite, yang namanya pun tidak pernah kami dengar.
Maaf Saudara-Saudara, saya lupa, saya harus berdoa. Sebab mati bagi saya adalah peristiwa sakral, yang mesti didahului dengan doa-doa. Apalagi sekarang saya diberi “anugerah” untuk mengetahui kapan saya harus mati. Saya yakin tak ada satu pun di antara Saudara-Saudara yang sudah tahu hari kematiannya. Tetapi, tetapi sebentar… apa gunanya berdoa, toh sebentar lagi saya akan mati. Saudara-Saudara jangan salah paham, doa-doa diturunkan bukan hanya untuk memohon pertolongan, tetapi yang lebih penting adalah membuat ketenteraman, sehingga tabah menghadapi hari kiamat sekali pun. Jadi biarkan saya berdoa dengan khusyuk sebentar…
***
SAUDARA belum sempat saya membuka mata, tiba-tiba berondongan peluru menghujani kami. Banyak di antara kami yang panik karena tidak menduga akan secepat itu kami harus menjemput ajal. Di tengah keputus-asaan yang dalam, sejak tadi diam-diam kami tetap berharap akan datang penyelamat, seseorang yang mampu memberi pencerahan bahwa apa yang sekarang menimpa bangsa ini hanya kekeliruan di dalam memahami ideologi. Perbedaan ideologi tidak harus berakhir dengan saling bantai. Bukankah Saudara-Saudara juga tahu, ideologi hanyalah kendaraan yang pada akhirnya membawa kita pada tujuan yang sama. Kalau Saudara-Saudara menyadari itu, bukankah berkuasa hanya sebuah kesempatan yang diberikan dan bahkan ditakdirkan untuk membawa kita semua, apa pun ideologinya, pada keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Dengan tenang saya menyelinap di balik drum. Saya pikir kalau kematian itu belum disabdakan betapa pun buruknya situasi, saya akan selamat. Dalam temaram cahaya, dari balik drum di sudut ruangan itu, saya lihat banyak orang yang terkapar. Beberapa di antaranya berupaya menyelamatkan diri dengan mencoba menggapai balkon. Tetapi tentu saja berondongan peluru jauh lebih cepat ketimbang mereka yang merangkak dalam genangan darah. Mereka pun akhirnya terkapar. Dan darah-darah mereka tumpah entah untuk apa, saya tidak paham. Inikah politik itu? Beginikah caranya mencapai cita-cita adil dan makmur itu?
Saudara-Saudara mungkin sependapat dengan saya, bahwa jalan kekerasan hampir pasti akan menuai kekerasan yang lain. Lagi-lagi saya bergidik…Kalau toh saya harus mati sekarang, apakah kekerasan akan berhenti di sini? Apakah kekerasan akan berhenti di balik pintu gudang tua ini? Siapa yang bisa menjamin bahwa tumpukan jasad kami sudah cukup berarti untuk menghentikan pembataian.
Saudara? Saudara bisa dan berani? Kalau tidak ada yang berani menjamin, saya tidak rela menjadi tumbal karena kerakusan Saudara-Saudara. Bahkan dengan alasan memulihkan stabilitas pun, apakah Saudara-Saudara akan membiarkan orang-orang yang tidak mengerti politik seperti saya dibantai seperti anjing. Apakah Saudara-Saudara yakin kelas petani seperti kami bisa mengancam kekuasaan?
Kami orang-orang berpikiran sederhana. Bisa turun ke sawah untuk meneruskan hidup esok hari saja sudah cukup. Pendidikan tidak menjadi prioritas, apalagi kekuasaan. Apa yang kami mengerti tentang kekuasaan? Kami tidak perduli siapa pun yang berkuasa, apa pun ideologinya, karena kami cuma mau hidup. Tetapi kami tidak mau menumpang hidup di ketiak para tuan tanah. Kami ingin bebas menentukan nasib kami.
Sungguh tak saya duga, Saudara-Saudara, drum di mana saya merasa akan selamat, tiba-tiba diberondong peluru. Dalam beberapa saat, drum itu meledak dan api membubung menjilat sampai ke atap. Dan saya…saya…terbakar Saudara. Seluruh tubuh saya terasa panas, panas. Bau hangus daging menyebar ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi kecuali berteriak: “Tembak, tembak saya. Meski saya tidak rela, tetapi izinkan saya mati dengan cara yang lebih beradab…Tembak, tembak saya, bajingan…!”
Saya roboh. Tetapi tak saya dengar letusan senapan. Pastilah saya akan mati hangus. Samar-samar saya lihat atap rumah mulai runtuh. Kobaran api rupanya telah membakar seluruh gudang. Orang-orang itu? Ah, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Saya tidak bisa melanjutkan cerita ini, karena ingatan saya mulai kabur dan pelan-pelan menghilang…
Itulah Saudara-Saudara saya ingin sekali bercerita banyak kepada Saudara-Saudara. Tetapi saya tidak pernah diberi kesempatan, sampai akhirnya saya datang lewat tubuh saudara saya ini. Ia tak lain saudara bungsu saya. Tolong setelah saya pergi sampaikan kepadanya, bahwa saya sangat berterima kasih atas pinjaman tubuhnya. Semoga ia selamat dan tidak mati konyol seperti saya…
(Tubuh lelaki itu tiba-tiba melorot dan kemudian jatuh tertidur. Ketika perlahan bangun dan mengusap-usap mata, lalu mengerjap-ngerjap lucu berkata…)
Mengapa Saudara-Saudara berkumpul di sini? Saya tidak apa-apa. Sudah ya saya harus kembali bekerja, bubar-bubar. Ah apa, jatuh, tadi saya jatuh, pingsan? Saya pingsan…Ah saya baik-baik saja kok. Mungkin Saudara-Saudara yang pingsan, lalu bisa saja menganggap saya juga ikut pingsan. Ayo bubar dong, saya sibuk dan harus kembali memeriksa pasien-pasein saya. Saudara perlu tahu, Puskesmas ini letaknya begitu jauh dari permukiman, jadi terkadang saya ngeri tinggal di sini. Untung juga ya Saudara-Saudara datang…Ah, apa? Saudara-Saudara semua pasien? Saya tidak sanggup mengobati begitu banyak orang…Kita perlu psikiater!

--T a m a t--

Kamis, 11 Juni 2009

Baju - Ratna Indrawari Ibrahim

BAJU
Ratna Indrawari Ibrahim

“Saya kira ini kejahatan yang luar bisa, bukan saja datang dari pihak Hastinapura, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang anak raja. Jadi, bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku memilihnya!”

Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya?

“Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu).”

Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku!

Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya di muka suami-suamiku.

Seharusnya suamiku tidak perlu menepati janji akibat dari kecurangan dalam perjudian ini. Di kaputren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para Pandawa pasti kalah.

Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan.

Menurut pendapat mereka, dengan permainan ini mereka berharap akan terjadi sebuah perjanjian bahwa Hastinapura akan dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan terhindar dari perang saudara.

Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan perasaan tidak dengan otak. “Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!”

Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda.

Duh Gusti………., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati. Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja (apakah mereka kali ini begitu bodoh, tidak melihat kecurangan itu?).

Pada saat itu aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada dihina seperti ini. Di mana orang-orang bersorak-sorai memberi semangat kepada Dursosono dengan menari-nari. Nampak olehku nafsu liar yang luar biasa dari mereka. Padahal mereka memiliki seorang perempuan juga, yaitu istri, ibu-ibu mereka, saudara perempuan, dan anak-anak mereka. Tapi, bagaimana aku bisa menuntut seperti angan-anganku ini. Aku sama sekali tidak mengerti ketika melihat Yudistira yang bijak cuma bisa menundukkan kepalanya. Padahal perempuan selalu menganggap suamilah yang akan melindungi dia melawan musuh-musuhnya.

Begitulah, aku sekian lama bermimpi suami-suamiku satria yang gagah perkasa akan menumbangkan darah demi melindungi istrinya. Tapi, kenyatannya mereka cuma diam-diam saja. Aku tidak tahu apakah dalam kejadian ini aku masih hidup atau sudah mati? Yang jelas aku mengatupkan bibirku karena aku tidak ingin sentuhan-sentuhan yang menjijikkan itu yang akan segera menikmati apa yang ada dalam tubuhku.

SEJAK kecil ibu sering berkata, “Hormatilah tubuhmu sendiri.” Oleh karena itu, sejak kecil aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami mereka.

Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. Padahal aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya pada waktu itu.

Yang ada pada waktu itu, rasa sakit yang luar biasa di seluruh urat nadiku. Kalau saja Dewata pada waktu itu berdiri di mukaku yang kumohonkan adalah kematian! Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat aku ceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur dengan telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura.

Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tapi mereka tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah ditanggapi oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu.

Sesungguhnya, pada saat itu aku ingin sekali bumi ini terbelah dan aku masuk ke dalamnya. Namun, ketika mendengar sorak-sorai mereka dengan nafsu hewaninya dan ketidakberdayaan suami-suamiku ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku. Aku tiba-tiba ingin menyelesaikan masalah ini dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, aku mencintai suami-suamiku dan inikah balasan mereka? Pernikahan kami yang bahagia berakhir dengan kepicikan mereka. Suami-suamiku seperti tidak menghargai lagi ekspresi tubuhku dan keberadaanku di tengah-tengah mereka.

Aku tidak tahu bagaimana mungkin suami-suamiku bisa terjebak dengan peristiwa ini. Dayang-dayangku saja tidak punya suami yang kelakuannya begitu hina-dina seperti ini. Bisakah kau bayangkan? Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama beberapa tahun lamanya. Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara.

Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus? Dan pada saat ini mereka menafikan cintaku, penderitaanku, dan mimpi- mimpi indahku. Menjadi bayang-bayang suram yang menaungi diriku.

Aku merasa pusing dan muntah-muntah. Sungguh aku tidak bisa menangis. Kupejamkan mataku hingga tidak kulihat kenyataan yang begitu dahsyat di mana suami-suamiku cuma pandai menundukkan kepala saja di tengah keliaran nafsu para Kurawa yang semakin kulihat sebagai iblis-iblis. Untuk berapa saat aku pingsan. Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal untuk menghentikan kejadian ini.

Tiba-tiba, kemarahan membuat aku berteriak-teriak, “Destarata ambillah sikapmu, engkau tetap ayahanda dari mereka.” Aku lihat Destarata menjadi gemetar dan terduduk di kursinya. Eyang Bisma dan paman Widuri seperti blingsatan.

Kukatakan sekali lagi, “Baginda raja, tidak adakah lagi kebenaran di istana Hastinapura ini?” Aku lihat Destarata seperti dihantam dan akhirnya Widuri berkata, “Atas nama raja hentikan semua itu Baginda!”

Para Kurawa seperti mengaum.

Aku merasa bertarung sendirian di sepanjang waktu itu. Tiba-tiba air mataku jadi kering, kulihat Destarata yang tangannya terluka. Aku mencoba menahan seluruh kemarahan dan rasa benciku ketika Destarata memintaku membalut tangannya yang terluka.

Akhirnya Destarata berkata, “Mintalah apa saja kepadaku Drupadi, aku akan mengabulkan permintaanmu.”

Aku berkata, “Bebaskan Bima dan saudara-saudaranya.” Dan Destarata berkata kembali, “Kukembalikan Pandawa kepada kau sebagai suami-suamimu dan ini adalah anugerah dari raja Hastinapura.”

Kemarahan semakin meledak-ledak di dalam hatiku. Kurasakan penghinaan itu sampai ke urat nadiku. Aku kira ini bukan anugerah dari Destarata. Kurebut mimpiku sebagai perempuan.

Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka, tak secuil pun yang akan menjadi milikku?

Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan ragaku kepada Pandawa tanpa seculi pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya, “Siapakah diriku?”

Lantas “Aku bersumpah tidak akan menggulung rambutku sebelum keramas dengan darahnya Dursosono.”

Halilintar saling sambar-menyambar, Dewata menyaksikan sumpahku.

Para Kurawa dan suami-suamiku terpana! *

Jimat Tikus - Wayan Sunarta

JIMAT TIKUS
Wayan Sunarta

Walau agak ragu, namun akan saya kisahkan pada Anda, sepenggal pengalaman saya menjadi tikus cerurut. Sejenis tikus yang tampangnya paling tidak menarik, tidak lucu atau imut seperti tikus rumah atau tikus sawah, tidak bersih dan putih seperti tikus percobaan di laboratorium, apalagi menawan dan memesona seperti tikus kantor. Saya hanyalah tikus yang sangat menjijikkan, yang hidup dan mencari sisa-sisa makanan di comberan berbau busuk. Namun siapa yang menyangka, kalau saya adalah pemegang rahasia rencana-rencana busuk dari sejumlah tikus…

Sampai saat ini pun saya masih diliputi kebingungan. Apa yang harus saya lakukan dengan rahasia yang saya dapat dari hasil menguping percakapan tikus-tikus itu. Saya terancam dan diliputi berbagai kecemasan karena rahasia yang saya pegang. Cepat atau lambat, saya akan menjadi cerurut yang dikejar-kejar oleh tikus yang lebih besar dan berkuasa.

Baiklah, saya akan segera membuka cerita saya.

Sebelum saya berubah menjadi cerurut, saya hanyalah seorang waker di sebuah perusahaan milik negara, yang demi sopan santun dan terlebih lagi keselamatan nyawaku sendiri, saya tidak akan menyebut nama perusahaan itu. Tapi suatu saat nanti, kalau masih ada kesempatan, terutama ketika saya tidak kuat lagi diteror oleh rahasia yang saya simpan serapi mungkin dalam lipatan hatiku yang paling dalam, maka dengan terpaksa saya akan bongkar semua yang menjadi rahasia saya di hadapan khalayak semua.

Anda sekalian pasti ingin tahu nama saya. Baiklah. Untuk hal yang satu ini tidak ada rahasia-rahasiaan. Nama saya sederhana saja, sesederhana penampilan saya sehari-hari. Maklum, saya bukanlah bos yang bisa tampil perlente setiap hari. Saya hanyalah seorang waker.

Nama saya, Cilik. Memang, saya berasal dari trah wong cilik. Namun bukan karena itu saya dinamai Cilik. Postur tubuh saya kecil dan ceking. Karena postur tubuhku itulah saya sering dipanggil Cilik oleh kawan-kawan saya di kampung. Bahkan di KTP pun saya memakai nama Cilik.

Saya sendiri sudah lupa siapa sebenarnya nama lengkap yang diberikan orang tua kepadaku—mereka mati karena wabah diare ketika saya berumur 7 tahun; aneh, saya sendiri selamat dari wabah itu. Dan sejak itu, saya pergi dari kampung kelahiranku untuk menyabung untung di kota. Nama lengkap bagi saya tidaklah terlalu penting. Sebagai salah satu penghuni kota dari kelas urban ini, yang terpenting adalah asal bisa makan dan melanjutkan hidup, itu sudah cukup, syukur-syukur kalau bisa melanjutkan keturunan.

Saya mengidap penyakit susah tidur yang parah. Daripada terjebak melakukan pekerjaan yang tidak-tidak, saya memberanikan diri melamar menjadi waker di kantor tempatku bekerja sekarang ini. Waktu itu umur saya baru 17 tahun. Mungkin karena karunia tuhan atau anugrah leluhur, saya akhirnya diterima menjadi waker. Meski gaji pas-pasan, bersyukur juga saya tidak punya banyak mimpi untuk beli ini-itu.

Sekarang sudah hampir sepuluh tahun saya mengabdi sebagai waker di kantor, yang demi sopan santun dan rasa terima kasihku, tidak mau saya sebut namanya itu. Namun begitu, toh jabatan saya tidak pernah naik, saya masih tetap sebagai waker, meski negeri ini telah lima kali mengganti presidennya. Tapi, jabatan bagi saya tidak terlalu penting. Asal bisa hidup saja, itu sudah cukup. Bahkan setahun lalu, saya berani melamar Iyem, pembantu bosku, sebagai istri saya.

Asal tahu saja, saya telah mengenal dengan baik seluk beluk kantor tempatku bekerja. Paling tidak saya tahu di mana meja bos, di mana toilet, di mana brankas penyimpanan surat-surat penting, di mana pintu belakang tempat bos sekali waktu memasukkan selingkuhannya, dan sebagainya.

Selama sepuluh tahun mengabdi, baru beberapa bulan terakhir ini saya merasa tidak nyaman. Pekerjaan saya menjadi bertambah. Dari hanya menjadi penjaga malam, mendapat kerja tambahan mengusir tikus. Sudah berbagai macam obat dan racun tikus saya sebar, namun satu pun tak mempan. Bahkan berbagai jenis perangkap sudah pula saya pasang di berbagai sudut kantor. Tapi tikus-tikus itu seperti sudah mengenal dengan baik seluk beluk kantor. Mereka semakin merajalela. Mereka menggerogoti arsip-arsip penting, disket, kabel komputer, buku-buku utang-piutang, buku pajak, buku kas, bahkan tissu WC yang sering nangkring di atas meja juga digerogoti. Sialan, dari mana datangnya tikus-tikus itu.

Saya sering berkeluh kesah perihal kelakuan tikus-tikus itu pada Karto, satpam kantor sebelah, yang hampir setiap malam saya ajak bermain catur di kantor tempatku bekerja. Suatu kali, di sela-sela keasyikan bermain catur, Karto menyuruh saya memasang perangkap. Padahal itu sudah pernah saya lakukan.

“Pasang perangkap saja!” ujar Karto.

“Tidak mempan. Sudah pernah kucoba. Tikus-tikus itu agaknya punya naluri tajam untuk menghindari perangkap,” jawab saya jengkel.

Sejenak Karto terdiam, kemudian berkata lagi. “Sudah coba pakai racun tikus? Pasang di setiap sudut kantor. Kalau perlu juga pasang di setiap laci-laci meja.”

Saya tambah jengkel. “Sama saja. Aku sudah coba. Namun tetap tidak mempan juga. Banyak arsip dan buku-buku penting kantor juga digerogoti tikus-tikus keparat itu.”

“Apa bos-mu sudah tahu?” Wajah Karto nampak cemas.

“Belum sih,” jawab saya singkat.

Tiba-tiba saja Karto ketawa, mungkin dia lucu melihat tampang saya yang kusut. “Kalau begitu kau tenang saja dulu. Perutku lapar nih, makan bakmi dulu, yuk! Perut harus diisi dulu, baru kita bisa berpikir dengan jernih. Tenang saja, aku punya saran bagus untukmu!”

Sialan. Masalah tikus belum selesai, Karto malah mengajak saya makan bakmi. Tetapi, perut saya juga lapar, dari siang belum makan. Maka saya pun setuju ajakan Karto. Kami memanggil tukang bakmi yang kebetulan lewat di depan kantor.

Sambil menunggu bakmi, Karto nyerocos lagi. “Janganlah kau terlalu bersedih, kawan. Aku tahu cara memberantas tikus-tikus itu”.

Saya tidak sabaran. “Gimana caranya?”

“Makan dulu bakmimu. Setelah itu, kau bayarin juga bakmiku ya..” ujar Karto kalem.

“Sialan, dasar pemeras!” umpat saya.

“Lho, Kawan, kau tahu ‘kan? Sekarang ini jaman informasi. Kau tahu ‘kan, informasi itu mahal. Informasiku ini termasuk paling murah karena hanya kau tukar dengan semangkuk bakmi…” Karto membela diri.

Saya mulai kesal lagi. “Ya..sudah, jangan berkhotbah. Cepat katakan apa saranmu itu? Aku sudah pusing ngurusin tikus-tikus sialan itu…”

“Sabar, bung! Sabar! Yaah…ini hanya saran saja. Kau suka nonton TV ‘kan? Di sana banyak ditayangkan kisah-kisah misteri dan berbagai penampakan…”

“Lalu, apa hubungannya dengan tikus?”

“Nanti dulu. Sabar. Aku belum selesai bicara,” Karto senyum-senyum.

Saya melahap bakmi yang sudah terhidang di depan mataku yang lapar.

“Begini. Ada baiknya kau tanyakan perihal tikus-tikus itu ke dukun. Siapa tahu dari sana kau mendapatkan saran dan ramuan mujarab untuk memberantas tikus-tikus yang meresahkan kantormu itu. Aku punya alamat dukun yang bisa kau hubungi. Gimana?”

Saya kaget mendengar saran Karto. “Gila kau. Masak masalah tikus saja perlu ditanyakan ke dukun. Mending kalau masalah bos yang kena santet, atau anak sakit, atau istri kena guna-guna, atau mohon jimat agar disayang bos. Tapi ini ‘kan masalah sepele…”

“Sepele gundulmu! Masalah tikus yang menyerang seperti wabah itu, bukan masalah sepele, tapi masalah serius. Lebih serius dari pemilihan presiden. Tikus-tikus itu harus diberantas, dibumihanguskan, bagaimana pun caranya, termasuk memasukkan pengaduan ke dukun.”

Tapi akhirnya saya mencoba mengikuti saran Karto.“Yahh, baiklah, kalau saranmu itu memang manjur, besok siang aku akan menghubungi dukun itu.”

***

Saya mendatangi alamat dukun yang diberikan Karto. Setelah melewati jalan-jalan kampung yang becek karena musim hujan berkepanjangan, saya tiba di depan gubug yang cukup menyeramkan. Menurut beberapa orang kampung yang saya tanya, memang benar itulah rumah dukun yang konon sakti itu, yang dalam sekejap mampu mengusir tikus yang menyerang tanaman padi dan palawija para petani di kampung itu.

Saya berdiri di pintu gubug. Mengetuk pintu.

“Permisi, Mbah!”

Tidak ada yang menyahut. Saya memanggil lagi.

Setelah sapaan yang kedua kalinya baru pintu gubug terbuka. Muncul sosok lelaki tua berambut panjang ubanan. Pakaiannya hitam dan kumal. Kakinya yang tampak selalu gemetaran disangga oleh tongkat berkepala ular.

“Hehh… rupanya ada tamu. Silakan masuk, Nak. Maaf ruangannya berantakan. Belum sempat dibersihkan. Silakan duduk.”

Dengan ragu-ragu saya duduk di atas tikar lusuh dan bolong di sana-sini. Jangan-jangan karena digerogoti tikus. Ruang praktek dukun itu sungguh menyeramkan. Di berbagai sudut penuh dengan pernak-pernik perdukunan, seperti tengkorak manusia yang entah dari mana didapat, tempat hio yang terus mengepulkan asap, jambangan berisi air suci, keris-keris kuno, batu-batu akik, akar-akar kayu…
Saya asyik mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mbah dukun berdehem. Saya sedikit kaget, lalu buru-buru mengutarakan maksud kedatangan saya.

“Eee…begini, Mbah…emm….maksud kedatangan saya…”

Mbah Dukun manggut-manggut.

“Tidak perlu dijelaskan. Mbah sudah tahu maksud kedatanganmu. Anak ingin mencari jimat tikus yang mujarab ‘kan?”

Saya heran dengan tebakan dukun itu. Saya bukan mencari jimat, tetapi mencari ramuan pemberantas tikus.

“Dari mana Mbah tahu?”

Mbah Dukun tertawa terkekeh-kekeh.

“Mbah ‘kan dukun…Tetapi, itu tidak penting. Banyak orang kampung, dan bahkan lebih banyak lagi orang kota perlente, yang datang kemari untuk membeli jimat tikus. Agar orang itu bisa menjelma tikus pada saat-saat yang diinginkannya. Dengan cara berubah wujud itu, mereka akan leluasa menggerogoti apa saja, merusak apa saja, tanpa orang lain tahu kelakuannya.”

“Tapi, Mbah, saya ke sini bukan untuk memohon jimat yang bisa menyulap tubuh saya menjadi seekor tikus. Tapi, saya justru memohon dan minta saran, bagaimana caranya memberantas tikus-tikus yang menyerang kantor tempat saya bekerja. Saya ini hanyalah seorang waker, Mbah. Setiap malam kerja saya ya…menjaga kantor agar aman dan tenteram, termasuk dari gangguan tikus, Mbah.”

“Oo…Mbah keliru. Maafkan Mbah ya…Mbah salah duga. Kadang-kadang dukun juga bisa keliru merumuskan tujuan kedatangan para pasiennya he…he…he…”

“Tidak apa-apa, Mbah.”

Setelah terdiam sejenak, dukun itu kembali bicara. “Ooo…jadi Anak ingin mencari ramuan pembasmi tikus, ya? Bukan jimat tikus toh. Ehmm…Anak tidak tertarik mencoba jimat tikus Mbah?”

“Tidak, Mbah. Saya hanya memohon ramuan pembasmi tikus yang paling mujarab sejagat.”

Mbah Dukun termenung agak lama. Ia nampak menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin saja penuh kutu dan ketombe. Tiba-tiba dukun itu seperti tersengat kalajengking.

“Waduh, Nak! Mbah lupa, di mana ya…Mbah simpan ramuan pembasmi tikus itu. Soalnya sudah lama Mbah lupakan ramuan itu. Akhir-akhir ini tidak ada lagi orang yang mencari ramuan seperti itu. Kalau pun ada yang memerlukan, paling-paling cuma orang kampung, untuk mengusir tikus sawah, bukan tikus kantor he…he…he..Yang masih Mbah simpan malah jimat berbagai jenis dan ukuran. Jimat macam ini yang paling sering dicari oleh orang-orang kota dan paling laris. Kalau Anak mau, boleh dicoba kok, gratis he…he…he…”

Dasar dukun sableng! Saya datang jauh-jauh bukan ingin mengubah wujud menjadi tikus, melainkan membasmi tikus…

“Jangan bilang Mbah sableng. Jelek-jelek begini Mbah masih diperlukan oleh orang kampung di sini…dan juga orang kota he..he..he..”

Rupa-rupanya dukun ini bisa membaca isi hatiku. Saya buru-buru minta maaf, sebelum dikutuk jadi kodok. “Maafkan saya Mbah. Maksud saya, orang-orang yang membeli jimat yang mampu mengubah diri menjadi tikus itu memang sableng.”

Dukun itu mendekatkan kepalanya ke wajah saya. Saya ngeri melihat wajahnya yang menyeramkan. Ia berkata, “Nak, perlu kamu ketahui, Eyang Ronggowarsito pernah bilang bahwa sekarang ini jaman edan. Kalau tidak ikut edan, maka akan cepat ketinggalan jaman. Lebih baik kamu coba saja jimat tikus Mbah. Sekali-kali cobalah rasakan bagaimana enaknya menjadi tikus. Gimana?”

Sialan betul Karto! Dia telah mempermainkan saya. Masak saya ditunjukkan dukun konyol kayak begini! Awas nanti kalau saya balik ke kantor. Tapi, boleh juga saran dukun ini kucoba…

Mbah Dukun melihat saya ngomel-ngomel sendiri. Saya buru-buru menerima sarannya. “Baiklah, Mbah, saya akan coba jimat Mbah. Siapa tahu dengan menjadi tikus saya bisa melihat tikus-tikus di kantor itu, apa benar-benar tikus atau tikus jadi-jadian..”

Dukun itu terkekeh-kekeh, keras sekali. “Lha…justru itu yang Mbah maksudkan. Percuma kamu memakai ramuan pembasmi tikus, sehebat apa pun ramuan itu. Kamu harus menyamar jadi tikus untuk melihat tikus lainnya dan mencari rahasia memberantas mereka. Paham?”

Mbah Dukun kemudian memberi saya bungkusan kecil berwarna putih yang entah apa isinya. Saya ingin buru-buru pulang, dengan agak ragu saya kemudian pamitan. “Baiklah, Mbah. Saya akan mematuhi nasehat Mbah. Saya mohon pamit, Mbah.”

Saya sudah hampir keluar dari gubug ketika dukun itu berkata dengan sedikit keras, “Eee…nanti dulu. Ingat, kalau kamu memakai jimat itu, kamu hanya bisa menjadi tikus cerurut. Kodratmu memang hanya sampai di situ. Kamu tidak akan mungkin bisa mengubah diri menjadi tikus kantor…”

Saya terkesiap dan sedikit merasa terhina. Tapi tak apalah, yang penting bisa mengubah diri jadi tikus…

“Tidak apa-apa, Mbah. Saya terima dengan ikhlas. Saya pamit, Mbah.”

***

Saya pulang membawa jimat tikus yang dihadiahkan dukun itu. Jimat itu hanya berupa buntelan kecil berwarna putih yang entah apa isinya. Dukun melarang saya membukanya. Kalau saya ingin menjadi tikus, saya harus mengalungkan buntelan itu dileherku dengan mengucapkan beberapa baris mantra yang juga telah diberikan Mbah Dukun.

Ehmm…apa salahnya saya mencoba menjadi tikus? Siapa tahu dengan cara ini saya malah mendapat banyak informasi yang berkaitan dengan wabah tikus di kantor tempatku bekerja.

Jam sepuluh malam saya berangkat ke kantor. Saya memang bekerja dari jam sepuluh hingga jam enam pagi. Saya mengantongi jimat yang diberikan dukun itu. Saya penasaran ingin mencobanya.

Seperti biasa, setelah berkeliling memeriksa keamanaan kantor, saya akan rebahan di kursi kayu depan kantor, atau main catur dengan Karto. Tetapi, ketika saya memeriksa ruang kerja para pegawai, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja tikus-tikus itu sudah memenuhi meja, menaiki komputer, menyelinap ke dalam laci, menggerogoti kabel, buku-buku dan berbagai peralatan penting kantor. Ini benar-benar pesta tikus. Tikus-tikus itu berpesta pora sepuas-puasnya. Ada yang bercicit seperti melantunkan nyanyian, ada yang minum dari sisa kopi pada cangkir yang lupa dibersihkan oleh pelayan kantor, ada yang berjingkrak.

Perlahan saya mengambil sapu ijuk. Kemudian saya mengejar dan memukul tikus-tikus yang berlarian pontang-panting itu. Tikus-tikus itu sekejap ketakutan, tapi sebentar kemudian muncul lagi mengajak beberapa kawan baru. Waduh…tikus-tikus itu makin banyak saja, mereka ada hampir di setiap ruang kantor, hampir di setiap meja dan laci…

Saya teringat jimat yang diberikan Mbah Dukun. Saya mencari tempat aman dan merafalkan mantra sambil mengenakan jimat itu dileherku.

Astaga…! Benar kata dukun itu. Saya melihat perut saya penuh ditumbuhi bulu kelabu. Pantat saya keluar ekor yang menjijikkan seperti ekor cerurut. Saya buru-buru mencari cermin. Ya, Tuhan, mulut saya telah tidak ada, digantikan moncong lancip yang juga sangat menjijikkan. Oh…ada kumis yang jarang dan kaku diantara moncong saya. Mata saya yang cekung kini malah melotot dan hitam mengkilat seperti kancing baju. Ya, Tuhan, saya telah berubah menjadi seekor cerurut!

Beberapa menit kemudian saya mulai bisa menguasai diri. Tiba-tiba di depan saya lewat dua ekor tikus gemuk dan berperut buncit. Tikus-tikus itu agaknya tidak memperhatikan saya. Sebagai tikus asing, saya buru-buru sembunyi di kolong almari yang ada di ruang bosku. Tapi betapa kagetnya saya, dua tikus gendut itu malah masuk ke ruangan bosku. Saya tidak terima, saya ingin segera mengusir mereka. Tapi, menyadari keadaan saya yang telah berubah wujud, saya urungkan niat saya untuk mengusir mereka.

Aneh, saya mengerti percakapan tikus-tikus itu. Kenapa saya bisa mengerti bahasa tikus? Apa karena saya telah berubah menjadi tikus? Ya, Tuhan, tikus-tikus itu agaknya membicarakan suatu masalah yang gawat. Saya menguping pembicaraan mereka.

Tikus yang paling gendut berkata, agak cemas, “Wakermu itu perlu diwaspadai. Dia agaknya sudah mencium gelagat dan kebusukan kantor ini. Hampir setiap malam dia mengejar-ngejar kita dengan sapu ijuk. Tadi, hampir saja aku tewas dikemplang sapu ijuknya, syukur aku bisa berkelit…”

“Tenang saja. Rencana kita tidak akan diketahui oleh waker tolol itu. Kita baru merampungkan separuh pekerjaan kita. Ini masih setengah jalan, Kawan.”

Saya terkesiap. Ya, Tuhan, ampunilah hambamu yang berdosa ini. Itu ‘kan suara…suara Pak Yusuf, kawan baik bosku, yang sekali waktu juga suka memberi saya uang rokok kalau kebetulan dia berkunjung ke kantor ini. O, jadi dia yang hampir kena kemplang sapu ijuk saya tadi? Dan, yang diajak bicara itu persis suara bosku, Pak Tan.

Saya mencoba mengintip, dan benar saja itu bosku sendiri. Waduh, kok bisa jadi begini? Mereka lagi merapatkan saya, apa mereka ingin menyingkirkan saya? Oh…lebih baik saya cepat-cepat minta maaf sebelum saya dipecat dari kantor yang kucintai ini. Kalau saya dipecat, ke mana lagi saya harus mencari kerja? Semua penganggur juga tahu, sekarang ini susah mencari kerja. Saya sudah sepuluh tahun mengadi sebagai waker di kantor ini. Bos juga sering baik pada saya. Tapi, kenapa mereka semua jadi tikus, ya? Saya kembali nguping pembicaraan mereka.

Tikus yang paling gendut dan buncit kembali berkata. Dia rupanya sangat marah dengan saya. “Tapi kau perlu hati-hati dengan waker itu. Aku tidak ingin rencana kita gagal gara-gara waker ceking itu. Kalau gara-gara dia posisi kita terancam, sebaiknya kau pecat dia, bila perlu basmi saja.”

“Ya, aku akan mempertimbangkan saranmu. Tapi malam ini lupakan waker goblok yang kusayangi itu. Dia tidak akan membahayakan kita, aku juga sering menyogoknya dengan rokok, kadang-kadang juga duit. O, ya, bagaimana rencana kita selanjutnya mengenai proyek yang hampir gol ini?”

“Itu soal mudah, asal kau secepatnya mengeluarkan ijin proyek tersebut.”

“Jatahku berapa persen?” ujar bosku yang telah berubah jadi tikus kantor.

“Itu gampanglah. Ijinnya dulu dong!”

“Ya, tapi aku harus hati-hati. Ini proyek rawan masalah. Apalagi menyangkut penggusuran Kampung Modar. Kalau salah melangkah kita bisa didemo rakyat kecil yang suka berkolaborasi dengan mahasiswa untuk menyingkirkan penguasa macam kita ini. Kau ‘kan tahu sendiri, kawan seperjuangan kita, si Bibie, lengser gara-gara sering didemo mahasiswa.”

“Bibie memang tolol dan grasa-grusu! Lain kali kita tidak usah pakai dia lagi. Begini saja, gimana kalau persenanmu kunaikkan, dengan syarat ijin harus segera keluar? Kau pakailah kekuasaanmu di kantor ini! Masak hal sepele begini kau persulit sendiri. Pakai akal sedikit dong!”

“Okelah…asal jatahku bisa menghidupi tujuh turunanku lagi. Dan, yang terpenting bisa beli mobil mercy terbaru. Aku akan segera keluarkan ijin proyek tersebut. Gimana?”

“Kau itu memang tikus botak berkulit belut. Licin dan culas ha…ha…ha..! Aku akan penuhi permintaanmu. Tenang aja!”

“Hei, Kawan, sesama tikus jangan saling menghina! Justru kita harus merapatkan barisan dan bahu membahu agar kerajaan kita makin jaya dan tidak cepat mampus dikemplang sapu ijuk waker tolol itu.”

Kedua tikus itu tertawa terkekeh-kekeh.

Kurang ajar! Bosku, Pak Tan, ternyata bangsat! Jadi kebaikannya selama ini rupanya memiliki maksud tertentu. Jadi selama ini saya telah disogoknya. Dan, Kampung Modar, itu ‘kan kampung tempat tinggal saya. Mereka rupanya berencana menggusur kampung saya. Oh, teganya…teganya bosku itu.

Lalu apa yang mesti saya lakukan? Apa perlu saya keluar dan membunuh tikus-tikus itu? Atau saya akan membocorkan rahasia mereka pada orang Kampung Modar, agar hati-hati, karena akan segera terjadi penggusuran? Saya bingung…Mereka kembali ngobrol. Saya kembali menguping.

“Ngomong-ngomong, kau sudah dengar, kawan kita Si Tomi, ditangkap baru-baru ini?”

“Lho, kenapa dia? Dia ‘kan tikus yang paling ditakuti di kerajaan tikus? Siapa yang berani menangkap dia?!”

“Ya…begitulah kalau terlalu percaya diri. Selicik-liciknya tikus, sekali waktu akan kena jerat juga. Tapi aku tidak yakin para pemburu tikus itu berani melenyapkan Tomi. Dia salah satu tikus yang memiliki jimat sakti, bisa menghilang pula. Dia punya dukun spesial. Kalau jimat kita ‘kan hanya jimat bikinan dukun kampung yang tidak seberapa ampuh.”

“Tapi, kau jangan terlalu meremehkan jimat pemberian dukun kampung itu. Buktinya sampai saat ini kita masih aman dari para pemburu tikus yang sok moralis dan idealis itu. Para pemburu tikus itu tidak sadar kalau buyut dan nenek moyangnya juga kebanyakan tikus.”

“Sudah, tidak usah diperdebatkan. Sebentar lagi wakermu itu muncul bawa sapu ijuk, kau bisa mampus di kursimu sendiri. Sekarang sudah hampir jam 4 pagi, ayo kita bubar. Jangan terlalu sering begadang, tidak baik untuk kesehatan kita yang sudah berperut buncit ini. Besok kau harus kelihatan cerah dan segar di depan para pegawaimu.”

“Kalau pulang, hati-hati dengan perangkap dan jebakan. Wakerku suka memasangnya hampir di setiap sudut kantor.”

Dua tikus buncit itu kemudian pergi. Perlahan saya menyembulkan moncong saya dari kolong meja bos. Syukur mereka tidak melihat saya. Oh…betapa kejam mereka. Rupanya mereka telah memakai jimat tikus yang didapat dari dukun itu. Pantas saja tikus-tikus di kantor ini seperti wabah. Lalu apa yang harus saya lakukan setelah mengetahui segalanya? Saya hanya tikus cerurut yang menjijikkan yang tempatnya cuma di comberan. Tidak mungkin saya bisa menjadi tikus kantor seperti bos dan kawan bosku itu. Tapi, apa mungkin dukun itu masih memiliki cadangan jimat yang bisa menyulap saya menjadi tikus kantor atau tikus berdasi yang terhormat itu. Tapi, dia bilang kodrat saya hanya bisa menjadi tikus cerurut.

Besok siang saya harus ke rumah dukun itu. Saya akan mengembalikan jimat tikusnya dan memaksa dukun itu membuatkan ramuan pembasmi tikus yang paling tokcer. Bagaimana pun juga saya harus membasmi tikus-tikus yang telah banyak menyengsarakan rakyat cilik seperti saya ini. Saya harus berperang melawan wabah tikus di negeri ini, bagaimana pun caranya.

Karena sudah hampir pagi, saya pulang ke rumah, ke Kampung Modar, yang suatu saat nanti akan digusur oleh bosku sendiri. Karena lelah, saya tidur-tiduran di bale-bale bambu yang beralaskan kasur tipis. Istri saya menggeliat ketika saya sentuh tubuhnya.

Namun, belum lama saya memejamkan mata, istri saya menjerit-jerit ketakutan sambil menuding-nuding saya. Dia panik dan berteriak histeris. “Tolong…tolong…ada tikuuss…ada…tikuuusssss…!”***

Rahim - Cok Sawitri

NAMA saya Nagari. Umur, tiga puluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.
Mereka, tiga orang lelaki itu, membawa saya ke sebuah rumah. Sebuah rumah dengan lantai licin dan dingin. Lantai yang membentuk lorong panjang, membelah puluhan pintu-pintu kamar yang saling berhadapan. Kemudian langit-langitnya begitu tinggi dan bila melangkah atau berbisik, tembok-temboknya memantulkan kembali suara-suara bercampur desir yang aneh. Rumah itu mirip hotel tua yang sudah dipensiunkan. Udara yang bergerak di dalamnya terasa demikian uzur.
Sampailah saya pada sebuah kamar. Tiga orang lelaki itu mempersilakan saya masuk ke dalam hanya dengan isyarat tangan. Dan, ketika tubuh saya melewati batas pintu, secara naluriah saya menangkap isyarat-isyarat asing, menerka-nerka kamar macam apa yang tengah saya masuki.
Sebuah meja yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, terbuat dari bahan kayu besi. Lalu dua buah kursi yang diletakkan berseberangan saling berhadapan, jam dinding yang memantulkan suara detak jam pada tiap kali geraknya membuat jantung lebih cepat berkerut. Belum lagi udara yang memasuki hidung begitu sarat mengandung debu yang seketika membikin tenggorokan tercekat perih.
Pintu di belakang tubuh saya otomatis menutup sendiri. Sisa desir anginnya, membuat saya seperti merasa didorong ke kubangan pasir, menyebabkan leher terasa demikian berat dan kaku. Sekali lagi, detak jarum jam dinding itu membuat pori-pori saya mengembang membentuk lubang dingin. Menggigilkan hati.
Saat itu, saya tidak memerlukan penjelasan apa pun, secara naluri saya mengerti, mengapa mereka, tiga orang lelaki itu, memasukkan saya ke kamar ini.
Karena sebelumnya, entah suatu kebetulan, seminggu yang lalu, seorang sahabat telah mengingatkan saya akan kemungkinan semacam ini. Tetapi peringatan sahabat saya itu, sungguh sulit saya percayai. Memang, sudah sering saya dengar kabar-kabar tentang berbagai kejadian aneh dan tidak logis yang menimpa banyak orang. Misalnya, ketika seorang teman dengan mata tertutup dibawa di tengah malam oleh sekelompok lelaki.
Teman saya itu diajak berputar-putar, tetapi entah kemana, teman saya tak pernah ingat. Dia hanya ingat diajak berkeliling! Tanpa henti dan tidak pernah berhenti. Dia juga ingat, selama perjalanan berputar-putar itu tak ada satu pun orang dari para lelaki yang membawanya itu menyapa dia dengan sepatah kata sekalipun! Teman saya hanya mendengar suara langkah sepatu dihentak-hentak silih berganti dengan letup kosong gerakan pelatuk pistol, membentuk irama dingin dan mencekam ulu hati. Entah apa namanya peristiwa itu. Teror. Intimidasi. Pengalaman gelap. Entahlah. Saya tidak paham. Sebab teman saya itu akhirnya dikembalikan seperti sedia kala ke rumahnya. Sampai kini dia tetap hidup normal. Juga tidak ada sekecil apa pun sebagai suatu tanda pernah mengalami suatu peristiwa. Yang tersisa dari peristiwa itu, sebuah sorot mata, yang bila saya ajak bertukar pandang, membuat perasaan seperti tersedot pusaran angin. Atau secara pongah saya seolah melihat di lubang matanya telah tumbuh sebatang pohon besar dengan akar ketakutan yang demikian hebat.
Ya, memang besar perbedaannya antara mendengarkan cerita dengan saat mengalami sendiri, bahwa kejadian semalam itu, yang dialami oleh teman saya itu, yang semula hanyalah cerita-cerita penghangat disaat minum kopi dapat menjelma sebagai kenyataan. Dialami oleh siapa saja. Tetapi, saya sulit percaya apabila itu kemudian terjadi terhadap diri saya.
Nyatanya, saya mengalami, tetapi saya merasa lebih beruntung dibandingkan dia. Setidaknya, saya paham, sesuatu telah direncanakan untuk saya dan saya siap mengalaminya. Karena itu saya tidak perlu penjelasan. Kamar saya ini sudah lebih cukup dari selembar kertas penuh kalimat penjelas.
***
NAMA saya Nagari. Pekerjaan ………… kadang saya menulis, kadang saya bernyanyi, kadang (kalau apa yang selama ini saya kerjakan, bisa disebut pekerjaan).
Ya itulah pekerjaan saya. Tepatnya, menghibur orang!
“Alamat?”
“Bukankah Bapak telah tahu,” saya berusaha menenangkan hati. Mencoba menatap mata lelaki di hadapan saya, yang saya kira matanya (barangkali) tidak bersaraf karena nyaris tak pernah mengedip. (Seperti mata ular. Konon ular tak pernah berkedip sepanjang hidupnya!).
“Ini prosedur biasa. Alamat saudari?!” ulangnya dengan suara kalem
“Di rumah kontrakan 2212.”
Lelaki itu mengatup bibirnya. Bajunya putih berjaket kulit dengan lengan yang ujung-ujungnya nampak kumal. Bibirnya hitam karena kebanyakan nikotin. Jemarinya tampak gemuk dan kasar. Tetapi wajahnya dalam siraman cahaya lampu yang saya perkirakan sebesar 25 watt, tampak berkilat-kilat, penuh semangat.
“Saya harapkan kerja sama Saudari. Biar kita bisa segera pulang. Saya sudah capek. Saudari juga capek. Jadi, mari kita bekerja sama …..”
Suara lelaki itu entah kenapa terdengar di telinga saya seperti lelucon-lelucon yang biasanya disisipkan oleh teman-teman bila ngobrol santai di kafe. Suara yang sengaja disopan-sopankan, suara sopan manis para birokrat bila diwawancarai reporter TV.
“Saudari mengerti maksud saya?” Tanya lelaki itu tiba-tiba.
“Tidak!” refleks saya menyahuti pertanyaannya. Dan, jawaban saya yang refleks membuat alisnya terangkat tinggi. Lalu, entah disebabkan apa, senyumnya tiba-tiba mengembang, cukup manis, begitu otomatis jemarinya merogoh saku, mengeluarkan rokok,
“Saudari merokok?”
“Kadang ….”
“Wanita modern biasanya merokok ….,” gumamnya dengan hidung kembang kempis. “Saudari tentu mengerti. Saya ini jujur saja. Saya tahu, Saudari adalah seorang wanita terpelajar. Banyak yang suka tulisan Saudari. Mendengar nyanyian Saudari ….. Saya pun termasuk salah satu orang dari jutaan orang, yang merasa seperti kehilangan bila di pagi hari tidak menemukan tulisan Saudari!” lanjutnya. Kali ini mirip suara penyair di televisi swasta.
Lalu lelaki itu menghembuskan asap rokok ke cahaya lampu, memberikan kesempatan pada asap membentuk gores-gores abstrak, kadang mirip awan, kadang mirip binatang, mungkin juga kadang membentuk sebuah symbol.
“Sebagai seorang teman… Maaf! Sebagai penggemar! Saya ingin sekali tahu, apakah tindakan operasi pembuangan rahim yang saudari lakukan tanggal 22 Desember yang lalu itu dilatarbelakangi semangat lain?”
Maksudnya? Saya berusaha konsentrasi terhadap pertanyaan lelaki itu. Ketika saya mengerti arti pertanyaannya, saya betul-betul terpana. Jadi, ini alasannya. Sialan, spontan hati saya memaki. Jujurnya, semula saya mengira saya dibawa ke mari karena tulisan saya yang terbit minggu lalu di sebuah Koran, menjadi sebab saya dapat kehormatan diundang ke kamar ini.
Ternyata, perkiraan saya jauh meleset. Entah mengapa, rasa kecewa itu muncul. Ternyata, bukan karena pikiran-pikiran saya, ide-ide saya, bukan karena kritik-kritik saya. Tetapi karena peristiwa tanggal 22 Desember itu?!
“Apa maksudnya?”
Saya bertanya dengan kecewa juga karena bingung. “Rahim? Maksud Bapak operasi rahim setahun yang lalu itu?”
“Iya. Yang Saudari lakukan pada tanggal 22 Desember, jam 11.30 Wita, di rumah sakit swasta…” Lelaki itu melepas suaranya dengan tekanan, mendorong saya sedikit merasa gelisah.
“Saya tidak mengerti, Pak…”
“Saya paham bila saudari tidak mengerti. Begini, Saudari mungkin tidak menyadari atau mula-mula Saudari mengira, apa yang Saudari lakukan adalah sesuatu yang wajar. Hak Saudari. Asasi Saudari. Kamipun mengerti hal itu. Amat mengerti…!!” Lelaki itu tiba-tiba terbatuk lama. Dahinya berkerut-kerut.
“Kami hanya ingin tahu, apa latar belakang tindakan Saudari!” lanjutnya dan batuknya otomatis terhenti. Dan, keheningan tiba-tiba saja menyergap. Saya berkesempatan kembali menatap wajah lelaki itu.
“Di bawah cahaya lampu 25 watt, kulitnya menyilaukan saya. Membuat pelipis berdenyut sakit.
“Masud Bapak ….. soal operasi rahim saya itu?” Mungkin kedengarannya bodoh, dengan menahan rasa sakit di pelipis, saya mengulang pertanyaan lelaki itu.
“Iya ….” Suaranya kini mantap, matanya membentuk bintik hitam.
Melihat kemantapannya, saya kecewa. Di lubuk hati saya, saya sering berkhayal, suatu saat nanti, saya akan mengalami peristiwa semacam ini. Lalu orang-orang ribut di Koran-koran, menjadi bahan pergunjingan. Menjadi gosip. Ramai. Sampai luluh lantak tanpa ujung pangkal. Ya, di lubuk hati saya yang terdalam, terlalu sering saya bayangkan diri dilukai berkali-kali kemudian darah menetes sebagai bukti bahwa saya telah memperjuangkan sesuatu dan membuat orang-orang terharu.
Akan tetapi, kini saya ditanyai soal rahim busuk! Rahim yang menasibkan hidup saya tidak lagi gagah mengakui diri sebagai perempuan.
“Sesungguhnya, saya heran ….,” akhirnya, saya ungkapkan kekecewaan.
“Saya tahu, Saudari akan heran ….. karena baru sekarang kami menanyakannya. Tidak setelah Saudari keluar dari rumah sakit ….” Lelaki itu menyela cepat. Matanya tajam, seolah mengerti geletar hati saya.
“Saya operasi karena rahim saya ditumbuhi daging. Itu logika medis. Aneh sekali bila hal itu menjadi daya tarik bagi Bapak?” dengan suara yang ditenang-tenangkan, saya mencoba menjelaskan sesuatu yang sebetulnya tidak memerlukan penjelasan, sesuatu yang bila makin jelas akan membuat saya kian kecewa.
Mendengar penjelasan saya, lelaki itu tersenyum lebar sekali. Kemudian di tengah-tengah senyumnya itu seekor cicak berteriak nyaring, gemanya memantulkan ke mana-mana.
“Sudahlah, seperti yang saya sampaikan dari awal. Marilah kita bekerja sama! Kita sudah sama-sama tahu. Saudari tahu, apa yang ingin kami tahu! Terus terang saja, kami sudah berpengalaman sejak tahun 1971!”
Saya berusaha tidak gemetar, tetapi lidah saya berkhianat, lidah saya bergetar. “Saya tidak mengerti. Soal operasi rahim, sejujurnya, bagi saya, itu peristiwa menyedihkan sekali.”
“Sedih? Maksudnya, Saudara melakukan hal itu dengan terpaksa?” Tanya lelaki itu dengan sorot mata yang membuat saya merasa seperti diserang flu.
“Tentu saya terpaksa. Andai boleh, tentu saya tidak akan melakukannya, Pak!” saya menyahutinya dengan pelan. Manalah ada perempuan yang suka rela rahimnya dibuang!
“Siapa yang memaksa Saudari?”
“Maksud Bapak?”
“Sudahlah, Saudari tidak usah takut. Kami ada dipihak Saudari. Kami merasa bersalah tidak bisa cepat menyelamatkan Saudari ….”
“Maksud Bapak? Pelipis saya terasa berdenyut keras.
“Siapa yang memaksa Saudari melakukan operasi itu?!”
“Tidak ada yang memaksa saya, Pak!”
“Saudari tadi katakan, Saudari terpaksa …..
“Katakanlah, siapa yang memaksa Saudari!”
Lelaki itu mengerutkan dahinya. Kilat kulit wajahnya memantul kemana-mana. Saya tercekat. Isi otak saya bergerak cepat. Ada apa? Apa maunya lelaki ini! Saya buntu. Betul-betul tak paham. Tepatnya, saya mulai merasa meriang. Dan, detak jarum jam dinding di kamar itu, membuat saya tiba-tiba teringat kamar kontrakan, Ah, saya belum kunci jendela! Saya teringat nasi yang belum dihangati.
Saya mual dengan dengan gerak pikiran saya sendiri. Mengapa mereka ingin tahu soal operasi rahim saya. Mengapa?
“Indikator yang kami pelajari. Fakta yang kami kumpulkan. Telah menujukkan arah yang benar. Saudari tahu, gerakan membuang rahim ini telah menjadi pola gerakan teror baru, tujuannya mengganggu reformasi. Ini sudah menjadi bagian gerakan politik direkayasa oleh kekuatan luar! Ini sebabnya kami minta tolong pada Saudari. Agar kami tahu, siapa dibalik semua ini?” Suara lelaki itu kini berdetam di kepala saya.
Aneh! Aneh betul bila dikaitkan ke hal-hal yang menurut saya sungguh-sungguh luar biasa. Memang, kalau dipaksa agar ada kaitannya, pasti saja ada kaitannya, kaitan aneh, misalnya. Apa rahim busuk pun bisa menjadi alasan untuk dicurigai telah terkait hal-hal yang yang luar biasa itu?! Apakah tindakan penyelamatan nyawa (operasi rahim itu) yang sebetulnya wajar dan normal dapat secara ajaib dihayati sebagai bisul berbahaya mengancam kehidupan masyarakat umum semacam ledakan bom setiap minggu atau penimbunan sembako yang pernah ramai dibicarakan itu ?! Luar biasa. Sungguh luar biasa rangkaian imajinasi otak lelaki di hadapan saya ini.
Saya mulai membujuk pikiran untuk menerka-nerka. Apa sebetulnya yang telah bergerak di dalam pikiran lelaki yang duduk tegak di hadapan saya itu. Sebuah pengabdian, penyelamatan Negara atau… suatu kebingungan akibat gajinya yang kecil(?). Atau dengan nakal pikiran saya bergerak, kekhawatiran lelaki itu benar adanya. Andai saja benar ada suatu gerakan penimbunan rahim. Para perempuan menimbunannya di suatu gudang, melakukan embargo terhadap jutaan sperma lelaki, semacam gerakan mogok hamil dan mogok melahirkan . Luar biasa!! Kalau saja hal ini benar terjadi, saya dapat mengerti kecurigaannya terhadap operasi rahim saya itu Tetapi …
“Kami telah mendeteksi, ada kelompok yang menginginkan para perempuan tidak memiliki rahim, dengan tujuan membatalkan seluruh kesempatan kelahiran generasi baru! Kami telah pelajari hal ini . Sejak lama. Bertahun-tahun kami kumpulkan informasi. Kami godok. Kami analisa… Saudari tahu, apa argument mereka?”
“Daripada melahirkan anak tetapi tidak dirawat dengan baik, tidak dilindungi oleh aturan yang baik. Lebih baik rahim kami dibuang!! Saudari tentu tahu hal itu, bukan?” Lelaki itu menyahuti pertanyaannya sendiri dengan penuh semangat, busa tipis memercik dari mulutnya yang hitam.
Astaga!
Saya benar-benar takjub. Andai saja saya punya pikiran semacam itu. Alangkah menakjubkannya. Semua perempuan membuang rahimnya! Klak ! Tidak ada kelahiran baru. Semua tua lalu mati! Klak ! Tidak perlu lagi gerutuan soal sembilan bahan pokok, tidak perlu lagi ini atau itu… karena hidup berakhir sudah. Bayangkan saja, mereka telah dijebak oleh imajinasi bahwa para perempuan akan membuang rahimnya, ada indikasi politik! Sebagai suatu ancaman. Meraka bahkan bertanya, “Siapa berdiri di balik ide kalian !”
Aneh. Mereka terus bicara politik, bicara oknum-oknum yang memiliki kemungkinan mmempengaruhi saya. Luar biasa sekali imajinasi mereka.
Akan tetapi pikiran jernih itu melintas tegas di kepala saya.Memotong lambungan pikiran saya. Saya menatap lelaki itu dan berusaha menata kata-kata, setenang dan sejelas mungkin.
“Sejujurnya, saya operasi rahim karena rahim saya dibuang lantaran ada tumor di dalamnya. Itu demi keselamatan nyawa saya, Pak. Sungguh, saya tidak mengerti yang Bapak pertanyakan kepada saya. Ini bukan persoalan aneh. Dari sudut kesehatan, ini seuatu yang lumrah, Pak!”
Lelaki itu tersenyum kecil. Menghela nafas. Matanya untuk pertama kali berkedip. Takjub saya dibuatnya. Dan, saat itulah dari jauh saya dengar detak-detak langkah mendekat. Tak lama kemudian pintu di belakang punggung saya terbuka. Angin mendesir. Tiga lelaki yang menjemput saya datang kembali. Tanpa bicara dengan isyarat tangan mengajak saya melangkah meninggalkan kamar itu. Meninggalkan rumah itu.
* * *
Lelaki itu tersenyum kecil. Menghela napas. Matanya untuk pertama kali berkedip. Takjub saya dibuatnya. Dan, saat itulah, dari jauh saya dengar detak-detak langkah mendekat. Tak lama kemudian pintu di belakang punggung saya terbuka. Angin mendesir. Tiga lelaki yang menjemput saya datang kembali. Tanpa bicara dengan isyarat tangan mengajak saya melangkah meninggalkan kamar itu. Meninggalkan rumah itu.
***
PAGI itu, saya memperhatikan kalender, kemudian saya perhatikan gerak jarum jam. Di luar sana terdengar suara gemuruh berisi jeritan dan tepuk tangan. Saya membuka jendela kamar, melihat keluar, di sana, terlihat spanduk-spanduk dikibarkan, bertuliskan : Selamatkan Rahim Perempuan, demi Masa Depan Dunia!
Astaga.
Tiba-tiba perut saya terasa nyeri. Ketukan pintu itu terdengar lagi. Saya enggan membukanya. Saya merasa tiga orang lelaki mendekati kamar saya.
“Kami lihat apa akibat dari tindakanmu itu. Segera umumkan pada mereka, bahwa kamu tidak pernah membuang rahimmu. Katakan pada mereka, bahwa apa yang kamu lakukan itu bukan gerakan keprihatinan yang berkaitan dengan harga makanan yang mahal!! Juga katakan, mereka tidak perlu khawatir, kelak generasi mendatang tidak akan terlahir bodoh dan kurang gizi. Katakan! Mereka tidak perlu membuang rahim mereka! Seperti yang sudah kamu lakukan!!”
Perut saya menegang. Rasa sakit itu sungguh luar biasa. Membuat segalanya gelap gulita. Sayup saya dengar suara lelaki di kamar itu tengah berpidato! Suara lelaki dengan detak jam yang menusuk-nusuk jantung.
“Tenanglah Saudara-saudara, tenanglah! Saudari Nagari sebentar lagi akan siuman. Saya harap Saudara-saudara memberikan kesempatan kepada tim kami untuk melaksanakan tugas. Demi keselamatan Saudari Nagari …”
Saya berusaha membuka mata dengan paksa. Lampu itu saya kenal. Jumlah cahayanya 25 watt. Jam dinding itu saya kenal. Cecak itu pun saya ingat. Saya pandang sebuah wajah. Wajah itu saya kenal.
Saya paham. Tidak perlu dijelaskan. Seperti biasa, seperti berbagai kejadian yang saya dengar dari teman-teman. Zaman ini tidak memerlukan penjelasan, tidak memerlukan kejelasan. Sebab penjelasan justru akan menebalkan kekaburan.
Lalu sayup suara aneh terdengar ….. Nama Nagari. Umur tiga puluh. Pekerjaan serabutan. Jenis kelamin wanita! Nomor kamar 2212. Catatan: korban kriminal. Rahimnya dikoyak dengan pisau belati oleh gerakan anti kelahiran generasi baru.
Saya tercengang. Rasanya, baru kemarin sore saya duduk di rumah kontrakan. Tidak pernah ada terjadi kejadian yang luar biasa. Benarkah rahim saya dikoyak dengan pisau belati? Aneh sekali! Untuk apa dikatakan seperti itu? Toh, semua teman saya tahu, rahim saya dibuang karena memang ada tumor di dalamnya.
Phuah. Kepada siapakah saya harus menanyakan, apa sebab riwayat rahim busuk itu menjadi demikian hebat kisahnya. Televisi, Koran dan radio ramai-ramai mengupasnya. Komentator baru soal politik rahim lahir beratus-ratus dalam seminggu.
Dari dalam kamar ini. Saya mendengar sorak-sorai bercampur jeritan-jeritan. Saya pejamkan mata sambil mengingat-ingat, barangkali, pernah saya melihat rahim busuk itu. Tetapi saya gagal membayangkannya. Barangkali, tidak akan pernah saya tahu seperti apa wajah rahim busuk itu. Padahal, dia ada dalam tubuh saya. Saya raba perut. Terasa kosong dan tiba-tiba saja saya merasa teramat kehilangan.
Saya hidupkan TV, isi beritanya: Antrean panjang terjadi di seluruh rumah sakit besar di kota-kota besar. Dengan hati kecut saya menanyakan: “Mengapa mereka antre di situ!” Mereka tak menjawab. Mereka nampak khusuk. Seperti menanti namanya dipanggil saat menanti giliran memasuki kamar operasi!
Nagari! Usia tiga puluh tahun, ….. di TV saya lihat wajah saya! Begitu aneh. Teramat aneh.
* * *