Rabu, 17 Juni 2009

Pidato - Putu Fajar Arcana

PIDATO
Naskah Monolog Putu Fajar Arcana

(SEORANG lelaki setengah baya tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia mengusap muka, mengucek, dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu menoleh sekeliling dengan pandangan heran. Sesekali memperbaiki sisiran rambutnya. Matanya lucu ketika menyadari begitu banyak orang di sekelilingnya. Ketika terdengar teriakan-teriakan yang memintanya segera bicara, perlahan ia berdiri. Tubuhnya terhuyung beberapa kali, tapi kemudian ia mulai bisa menguasai diri).
***
SAUDARA-saudara, saya diundang kemari untuk berpidato. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan selama hidup saya. Sebab pidato bagi saya lebih merupakan sebuah kesaksian, ketimbang melontar-lontarkan pepesan kosong. Apalagi sekarang saya harus berpidato di hadapan Saudara-Saudara, orang-orang berpengetahuan luas, kaum intelektual yang sering nonggol dalam talk show di televisi. Saya hanya orang kecil, orang desa yang sama sekali tidak memiliki referensi tentang politik. Politik? Ssttt…(menutup bibir dengan telunjuk, lalu berbisik) jangan keras-keras…dan tolong jangan dikabarkan kepada yang tidak hadir di sini, saya tak suka politikus. Mereka ini kaum mencla-mencle, tak ada logika yang lurus. Seperti besi ditempa, semakin dibakar semakin mudah dipeot-peotkan. Tak ada istilah sahabat atau seteru, semuanya adalah alat untuk mencapai kuasa.
Terkadang saya pikir mereka (celingukan menoleh ke sekeliling) serombongan tikus yang hidup dalam got di sepanjang jalan-jalan kota. Di musim kemarau mereka bisa berkeliaran semaunya, untuk mencuri roti mereka bisa menggerogoti pintu-pintu rumah Saudara, tetapi di musim hujan bisa menebar leptospirosis. Makanya banyak orang kota yang berpikiran tidak waras, karena kencing tikus. Tentu tidak termasuk Saudara, bukan? Karena saya tahu Saudara-Saudara adalah orang-orang yang berpengetahuan luas dan tidak suka mencla-mencle.
Apakah Saudara-Saudara bersedia dipimpin oleh serombongan tikus? Saya kira pasti tidak, karena kalau bersedia Saudara-Saudara saya cap sama dengan para politikus itu, yaitu anggota dari gerombolan tikus…
(Seperti mendengar celetukan orang) Apa? He-he-heh, sssttt…ingat jangan sampai terdengar yang lain. Saya bisa diciduk. Nah ini, soal ciduk-menciduk, mungkin Saudara-Saudara masih ingat sewaktu saya diculik dari rumah saya. Itu sudah terjadi pada bulan Desember tahun 1965. Kira-kira usia saya waktu itu 20 tahun. Mestinya saya sudah tamat SMA, tetapi karena kami termasuk keluarga miskin yang hanya hidup dari hasil sawah, saya terpaksa putus sekolah. Kemudian saya memang diajak untuk rapat-rapat, bagaimana mendapatkan tanah-tanah sawah kami kembali. Selama ini orang tua saya hanya menjadi petani penggarap di bekas sawahnya sendiri. Sudah lama sawah kami diambil oleh para tuan tanah. Mereka menjerat kami dengan utang lalu mencuri periuk nasi kami.
Malam itu, Saudara, hujan gerimis dan lolong anjing begini….Aaauuu….Auuumm (melolong seperti anjing). Saya baru saja menyulut rokok jagung, ketika tiba-tiba serombongan orang berseragam hitam dengan selempang pedang, ah bukan, mungkin kelewang di punggungnya membekuk saya.
“Saudara ikut kami…!” kata salah seorang yang bertubuh paling besar. Ia mencengkeram lengan kanan saya. Lolong anjing terdengar lagi, aaauuu, auumm…Saya bergidik. Ketika ia kemudian menambahkan berkata,”Saudara antek-antek PKI…!” saya baru sadar bahwa nyawa saya di ujung tanduk. Waktu itu, Saudara tahu, tuduhan seperti ini bagai vonis mati. Nyali saya tiba-tiba ciut. Darah di kepala saya seperti disedot vacuum cleaner, muka saya jadi pucat pasi. Saya seperti mayat yang begitu saja dilemparkan ke liang kubur.
Ketika rombongan yang kukira para jagal itu menyeret saya, meski dengan memelas saya memberanikan diri berkata,”Bapak-Bapak, pasti salah tangkap…”
“Sebaiknya pergunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal-hal penting, seperti pesan kepada keluarga,” kata yang berkepala plontos.
“Bapak-Bapak pasti salah tangkap. Pasti bukan saya yang dimaksud,” kata saya lagi. Saudara-Saudara dalam situasi seperti ini saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan tindakan saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI itu. Sebab, terus terang, saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-Saudara, saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga Saudara tahu, saya tak mau terlibat politik. Urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan masing-masing.
Jelas nama saya sudah dikorupsi. Saat-saat kampanye mereka dengan mudah akan memanipulasi begini: Saudara-Saudara partai ini partai milik wong cilik, partai yang berjuang untuk orang-orang kecil dan pinggiran seperti Saudara-Saudara. Saudara-Saudara tahu kami tidak akan membiarkan nasib Saudara-Saudara tergantung di ketiak para tuan tanah, di mana Saudara-Saudara menjadi buruh di tanah milik Saudara sendiri. Kami datang membawa harapan, kami adalah matahari yang tiba-tiba terbit dari balik bukit. Dan memberi sinar kepada kesuraman hidup Saudara-Saudara. Cuma, kalau Saudara-Saudara tidak berada satu barisan dengan kami, bagaimana kami bisa memperjuangkan nasib Saudara-Saudara. Apa Saudara-Saudara mau bergabung bersama kami?
Kalau Saudara-Saudara menolak berarti Saudara-Saudara juga menolak memperbaiki nasib bangsa. Dan itu pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan, tidak bisa dimaafkan, karena Saudara-Saudara berarti juga berlindung di balik punggung para tuan tanah, yang selama ini menghisap darah di kepala Saudara-Saudara…
Nah, Saudara-Saudara sudah dengar tadi kan? Saya jijik, saya muak dengan ajakan-ajakan begini. Kenapa semua orang yang datang kepada kami selalu membawa janji-janji. Mereka tidak pernah datang sebagai sahabat yang tulus, yang begitu sungguh-sungguh ingin mengangkat hidup kami yang melarat ini…Eh sudah begitu pakai mengancam lagi.
Huk-huk….izinkan saya menangis Saudara. Sudah lama kita lupa bagaimana caranya menangis yang baik. Tangis-tangisan yang setiap hari saya saksikan di televisi, telah menjadi semacam sandiwara, yang berusaha membuat kita terharu. Padahal semuanya adalah semu, kita bagai hidup di tengah bayang-bayang. Tak ada lagi ketulusan di negeri ini. Bahkan untuk sekadar menangis, kita pun tega bersandiwara…huk-huk…
***
“NAMA Saudara ada dalam daftar….!” kata lelaki yang bertubuh besar dan kekar. “Makanya jangan rewel…”
“Bapak-Bapak salah tangkap…” Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu mengatakan hal lain. Karena saya pikir hanya kata-kata ini yang bisa menyelamatkan nyawa saya sekarang.
“Saudara benar bernama Tell, Tell…” Saya menunggu untuk menguji apakah para penjagal ini benar-benar mengetahui nama saya. Karena saya yakin pastilah ia salah tangkap. Saya tidak pernah merasa menjadi aktivis partai untuk memperjuangkan hak-hak petani. Saya cuma tahu bahwa kami tidak lagi bisa seenaknya mengolah tanah. Ayah saya hanya buruh yang diupah untuk bekerja di atas tanah miliknya. Semua hasil panen tidak pernah lagi mengisi lumbung-lumbung rumah kami. Setiap panen, kami hanya bisa melelehkan air mata menyaksikan padi-padi itu, ah padi-padi itu, oh tebu-tebu itu, diangkut entah ke mana. Dan kami dibiarkan seperti tikus yang mengais-ngais sisa. Apalah daya seekor tikus di bawah batang padi yang telah dipanen. Hanya rumput yang tersisa. Dan kami, para pemakan rumput yang tumbuh di bawah kaki-kaki para tuan tanah. Oh hidup ini sungguh kejam, para pemilik pun tak berdaya berhadapan dengan penguasa, karena pemilik belum tentu berkuasa. Oh, huk-huk…(Menangis…) Ah, saya menangis lagi, mohon maaf kalau saya tiba-tiba jadi cengeng, Saudara-Saudara.
“Saudara Teller, ini bukan saatnya menangis. Kalau Saudara masih percaya Tuhan ini saatnya untuk berdoa. Kami mentolerir soal-soal itu,” kata yang berkepala plontos kemudian. Sudah saya duga, mereka pasti salah tangkap.
“Nama saya Meller, Pak…” Saya sebut nama saya yang sebenarnya. Tentulah dengan maksud agar para penjagal ini segera sadar bahwa saya bukan orang yang dimaksud. Dan kemudian dengan memohon maaf, saya akan dilepaskan.
“Mau Teller kek, Meller kek, Saudara sudah terlanjur kami tangkap, pantang untuk mengembalikan barang yang telah kami ambil…” kata yang bertubuh besar.
Barang? Coba, coba, apakah cerita saya ini tidak menyentuh hati Saudara-Saudara. Seharusnya Saudara-Saudara bersimpati kepada saya dan kalau mungkin membantu saya agar terbebaskan dari orang-orang yang menyeramkan itu. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang dilindungi oleh aturan seperti HAM, disamakan seperti barang. Apakah dunia ini sudah begitu bengisnya. Manusia-manusia yang hidup di dalamnya sudah tidak sanggup lagi membedakan mana barang dan manusia. Sesosok tubuh yang tidak bernyawa sekali pun, nilainya tidak bisa disamakan dengan barang. Apalagi saya, seseorang yang masih memiliki hak atas nyawanya sendiri.
Tetapi begitulah di zaman itu Saudara, penangkapan seorang anak manusia disamakan dengan memungut kerikil dari tepi jalan. Kapan pun dikehendaki kerikil itu akan dilemparkan ke dasar jurang. Dan Saudara tidak bisa protes, kalau sewaktu-waktu nyawa Saudara disamakan nilainya dengan sebuah kerikil. Artinya Saudara mesti siap mental kapan pun akan disembelih, seperti saya…
***
(TERDENGAR suara guruh disertai kilat menyambar, langit gelap. Gerimis turun…Suasana ini sangat mencekam).
Saudara, di malam yang gelap saya digiring ke sebuah tempat. Kepala saya ditutup dengan baju kaos yang saya kenakan ketika duduk di beranda tadi sore. Mereka menaikkan kami ke sebuah truk yang kemudian membawa kami kemari, sebuah gudang tua yang saya kira letaknya di pinggiran kota. Sewaktu dijerumuskan seperti membuang bangkai anjing ke kali, saya masih bisa merasakan panas cuaca perkotaan. Asap dari cerobong pabrik gula masih tercium hidung saya. Tapi di daerah ini memang bertebaran pabrik gula, tentu saja saya tidak bisa membedakan aroma masing-masing pabrik itu. Apa Saudara sanggup membedakan pabrik gula ini aromanya begini, pabrik itu aromanya begitu…Saya yang hidup di sekitar perkebunan tebu saja belum memiliki penciuman setajam anjing, apalagi Saudara yang hidup di perkotaan dan bahkan tidak mengenal pohon tebu…
Di dalam gudang yang pengap, saya lihat puluhan orang duduk di lantai dengan tangan terikat. Sekilas beberapa di antaranya saya kenal. Mereka sebagian besar para petani yang hidupnya serba kekurangan seperti saya. Bagaimana mungkin para petani miskin, tak melek huruf, apalagi politik, menjadi lokomotif penumbangan sebuah rezim. Ah, Saudara banyak yang tidak bisa dimengerti di sini.
Ketika saya ditendang agar bergabung dengan orang-orang ini, saya baru sadar kalau lantai yang saya pijak penuh genangan darah. Samar-samar genangan itu hampir-hampir mencapai mata kaki saya. Ketika saya mencoba jongkok untuk memastikan bau amis, di atas… saya kira di sebuah balkon, terdengar derap sepatu tentara. Dalam beberapa saat para tentara telah berbaris mengambil posisi di sepanjang balkon.
Oh, Tuhan, di sinilah masa muda saya akan berakhir. Saudara, hanya malaikat yang bisa menolong saya. Sebentar lagi kalau bedil sudah dikokang, hingga terdengar suara, krakk…krakk…krakk…dan kemudian bergema letusan berkali-kali, timah-timah panas akan bersarang dalam tubuh saya. Dan saya, kami semua akan roboh, setelah itu, setelah itu, darah kami akan membanjiri lantai ini. Mungkin tingginya akan mencapai lutut Saudara-Saudara.
Diam-diam saya berdoa. Saya mengucapkan rasa syukur diberi pilihan mati di ujung moncong senapan. Paman saya, Juwena, sebagaimana cerita yang kemudian saya dengar harus mati dengan kepala terpisah dari badannya. Setelah diculik seperti saya, ia digiring ke sebuah tepi jurang di pinggir pantai. Di situlah para algojo memenggal lehernya. Kepalanya berguling dan tubuhnya jatuh ke pantai. Bersamanya juga dibantai begitu banyak manusia yang belum tentu mengerti riwayat kesalahannya.
Ketika air surut mayat-mayat itu seperti ikan lemuru yang terdampar dan busuk. Baunya menyusup di antara pohon-pohon kelapa sepanjang pantai. Lalu menabrak pintu-pintu rumah warga. Tetapi tak ada yang berpikir itu bau mayat, apalagi perduli. Sebab keperdulian saja sudah cukup mengantarkan Saudara-Saudara ke tempat-tempat penjagalan. Sementara, Saudara ooohh… kepala mereka dipamerkan di pos-pos jaga. Konon itu menjadi contoh buat orang-orang yang terlibat. Apakah Saudara-Saudara tidak berpikir, sebagaimana yang saya pertanyakan sekarang ini, mengapa bangsa yang konon ramah-tamah dan mengerti sopan-santun ini, bisa begitu liar dan bengis.
Saya bergidik. Di sinilah di negeri yang konon dilahirkan ketika para bidadari bertemu dengan dewa-dewa, ketika bulan bersatu dengan matahari, tangis sudah kehilangan maknanya. Tak ada gunanya lagi menangis. Air mata ini tiba-tiba kering, ketika terdengar ratusan ribu orang dibantai sebagai sekawanan anjing yang dituduh menyebar rabies. Mereka ketakutan ketularan gila, mereka ketakutan dari mayat-mayat itu akan muncul belatung. Kalaupun mayat-mayat itu kemudian dikuburkan, bukan karena mereka tahu bagaimana selayaknya memperlakukan jenazah, tetapi karena mereka takut dari jasad-jasad itu akan menyembur penyakit. Dan pada suatu hari seluruh penghuni kota akan tertular. Artinya Saudara-Saudara, mereka juga memiliki ketakutan yang sama sebagaimana ketakutan saya sekarang ini.
Karena tempias cahaya lampu saya melihat genangan darah di lantai berkilau. Sebentar lagi ketika seruan,”tembaaaakk…!” menggelegar menembus gelap, darah saya, darah kami malam ini akan menjadi bagian dari genangan itu. Apakah bau amis darah kami tidak cukup menjadi pemuas naluri setan yang bersarang di hati para penjagal ini. Apakah harus jatuh ratusan ribu korban lagi dengan dalih menebus kesalahan yang diperbuat oleh segelintir elite, yang namanya pun tidak pernah kami dengar.
Maaf Saudara-Saudara, saya lupa, saya harus berdoa. Sebab mati bagi saya adalah peristiwa sakral, yang mesti didahului dengan doa-doa. Apalagi sekarang saya diberi “anugerah” untuk mengetahui kapan saya harus mati. Saya yakin tak ada satu pun di antara Saudara-Saudara yang sudah tahu hari kematiannya. Tetapi, tetapi sebentar… apa gunanya berdoa, toh sebentar lagi saya akan mati. Saudara-Saudara jangan salah paham, doa-doa diturunkan bukan hanya untuk memohon pertolongan, tetapi yang lebih penting adalah membuat ketenteraman, sehingga tabah menghadapi hari kiamat sekali pun. Jadi biarkan saya berdoa dengan khusyuk sebentar…
***
SAUDARA belum sempat saya membuka mata, tiba-tiba berondongan peluru menghujani kami. Banyak di antara kami yang panik karena tidak menduga akan secepat itu kami harus menjemput ajal. Di tengah keputus-asaan yang dalam, sejak tadi diam-diam kami tetap berharap akan datang penyelamat, seseorang yang mampu memberi pencerahan bahwa apa yang sekarang menimpa bangsa ini hanya kekeliruan di dalam memahami ideologi. Perbedaan ideologi tidak harus berakhir dengan saling bantai. Bukankah Saudara-Saudara juga tahu, ideologi hanyalah kendaraan yang pada akhirnya membawa kita pada tujuan yang sama. Kalau Saudara-Saudara menyadari itu, bukankah berkuasa hanya sebuah kesempatan yang diberikan dan bahkan ditakdirkan untuk membawa kita semua, apa pun ideologinya, pada keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Dengan tenang saya menyelinap di balik drum. Saya pikir kalau kematian itu belum disabdakan betapa pun buruknya situasi, saya akan selamat. Dalam temaram cahaya, dari balik drum di sudut ruangan itu, saya lihat banyak orang yang terkapar. Beberapa di antaranya berupaya menyelamatkan diri dengan mencoba menggapai balkon. Tetapi tentu saja berondongan peluru jauh lebih cepat ketimbang mereka yang merangkak dalam genangan darah. Mereka pun akhirnya terkapar. Dan darah-darah mereka tumpah entah untuk apa, saya tidak paham. Inikah politik itu? Beginikah caranya mencapai cita-cita adil dan makmur itu?
Saudara-Saudara mungkin sependapat dengan saya, bahwa jalan kekerasan hampir pasti akan menuai kekerasan yang lain. Lagi-lagi saya bergidik…Kalau toh saya harus mati sekarang, apakah kekerasan akan berhenti di sini? Apakah kekerasan akan berhenti di balik pintu gudang tua ini? Siapa yang bisa menjamin bahwa tumpukan jasad kami sudah cukup berarti untuk menghentikan pembataian.
Saudara? Saudara bisa dan berani? Kalau tidak ada yang berani menjamin, saya tidak rela menjadi tumbal karena kerakusan Saudara-Saudara. Bahkan dengan alasan memulihkan stabilitas pun, apakah Saudara-Saudara akan membiarkan orang-orang yang tidak mengerti politik seperti saya dibantai seperti anjing. Apakah Saudara-Saudara yakin kelas petani seperti kami bisa mengancam kekuasaan?
Kami orang-orang berpikiran sederhana. Bisa turun ke sawah untuk meneruskan hidup esok hari saja sudah cukup. Pendidikan tidak menjadi prioritas, apalagi kekuasaan. Apa yang kami mengerti tentang kekuasaan? Kami tidak perduli siapa pun yang berkuasa, apa pun ideologinya, karena kami cuma mau hidup. Tetapi kami tidak mau menumpang hidup di ketiak para tuan tanah. Kami ingin bebas menentukan nasib kami.
Sungguh tak saya duga, Saudara-Saudara, drum di mana saya merasa akan selamat, tiba-tiba diberondong peluru. Dalam beberapa saat, drum itu meledak dan api membubung menjilat sampai ke atap. Dan saya…saya…terbakar Saudara. Seluruh tubuh saya terasa panas, panas. Bau hangus daging menyebar ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi kecuali berteriak: “Tembak, tembak saya. Meski saya tidak rela, tetapi izinkan saya mati dengan cara yang lebih beradab…Tembak, tembak saya, bajingan…!”
Saya roboh. Tetapi tak saya dengar letusan senapan. Pastilah saya akan mati hangus. Samar-samar saya lihat atap rumah mulai runtuh. Kobaran api rupanya telah membakar seluruh gudang. Orang-orang itu? Ah, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Saya tidak bisa melanjutkan cerita ini, karena ingatan saya mulai kabur dan pelan-pelan menghilang…
Itulah Saudara-Saudara saya ingin sekali bercerita banyak kepada Saudara-Saudara. Tetapi saya tidak pernah diberi kesempatan, sampai akhirnya saya datang lewat tubuh saudara saya ini. Ia tak lain saudara bungsu saya. Tolong setelah saya pergi sampaikan kepadanya, bahwa saya sangat berterima kasih atas pinjaman tubuhnya. Semoga ia selamat dan tidak mati konyol seperti saya…
(Tubuh lelaki itu tiba-tiba melorot dan kemudian jatuh tertidur. Ketika perlahan bangun dan mengusap-usap mata, lalu mengerjap-ngerjap lucu berkata…)
Mengapa Saudara-Saudara berkumpul di sini? Saya tidak apa-apa. Sudah ya saya harus kembali bekerja, bubar-bubar. Ah apa, jatuh, tadi saya jatuh, pingsan? Saya pingsan…Ah saya baik-baik saja kok. Mungkin Saudara-Saudara yang pingsan, lalu bisa saja menganggap saya juga ikut pingsan. Ayo bubar dong, saya sibuk dan harus kembali memeriksa pasien-pasein saya. Saudara perlu tahu, Puskesmas ini letaknya begitu jauh dari permukiman, jadi terkadang saya ngeri tinggal di sini. Untung juga ya Saudara-Saudara datang…Ah, apa? Saudara-Saudara semua pasien? Saya tidak sanggup mengobati begitu banyak orang…Kita perlu psikiater!

--T a m a t--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar